Jumat, 09 Desember 2011

Filsafat Ketuhanan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.....?
Bismillahirahan nirahim........


Ketika manusia mulai menyadari akan eksistensi dirinya, maka mulailah terdetik dalam hatinya sendiri tentang keeksistansiannya sebagai manusia, yang mana timbul dari berbagai hal. Yang mana ia selalu cenderung ingin mengetahui berbagai rahasia serta misteri yang silih berganti dalam kehidupannya, melalui kecenderungannya yang selalu ingin mengetahui, maka terdetik dalam dirinya berbagai pertanyaan seperti : Dari mana saya ini ? mengapa saya tiba-tiba ada ? dan siapa yang mengadakan saya ? dari pertanyaan itu maka akan terfikirkan oleh kita dan mempertanyakan tentang siapa penguasa tertinggi alam raya sehingga mampu menciftakan alam ini dengan aturan-aturan yang begitu indah dan rapi. Fitrah manusia ini akan lebih besar ketika seseorang beranjak dewasa, yang mana ia telah mengalami berbagai pengalaman dan misteri-misteri yang ia alami dalam kehdupan ini. Sehingga tersirat dalam dirinya siapa penguasa dibalik misteri serta iradah ini.
Untuk memenuhi fitrahnya tersebut bukan saja naluri yang berjalan tetapi otak dan logika manusia pun mulai bermain, untuk mengetahui tentang adanya Tuhan. Maka untuk memenuhi fitrahnya itu manusia mulai mencari dan merindukan Tuhan. Dan manusia mulai melakukan berbagai usaha dari yang dangkal berupa perasaan sampai ketingkat yang lebih tinggi yaitu menggunakan akal ( Filsafat ). Kekuatan fitrah ini tidak dapat dihapuskan, karena hal tersebut merupakan cara memanifestasikan fitrahnya tersebut.
Sebelum kita membahas tentang Filsafat ketuhanan alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu akan makna atau pengertian dari Filsafat tersebut. Adapun pengertian filsafat sebagaimana telah kita ketahui bahwa kata filsafat adalah bentuk kata arab yang bersala dari bahasa yunani “Philosophia” yang merupakan kata majemuk “ Philo” berarti Suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi dapat kita simpulkan arti filsafat menurut namanya adalah cinta kepada kebijaksanaan. Kata filsafat dapat kita temukan dalam Al-qur’an dengan istilah Hikam dan Hukama yang artinya maha bijaksana, bahkan kata hikam berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an, dan hikmah itu diperoleh dari Tuhan.
Sesuai dengan tabiatnya yang cenderung ingin mengetahui segala sesuatu yang “ada” dan yang “mungkin ada” menurut akal fikirannya. Atas dasar tersebut maka manusia mulai mencari cara untuk mencapai kepada suatu kebenaran yaitu dengan cara berfilsafat yang berobjek “ MUTLAK ADA” yaitu sesuatu yang ada secara mutlak , yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada sesuatupun juga, yang adanya tidak ada permulaannya dan tidak ada penghabisannya ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti, ia merupakan asal adanya segala sesuatu, yaitu Tuhan dalam bahasa yunani “Odicea” dan dalam bahasa arab “Illahu” atau “Allah”.
Hakikat persoalan pencarian dan penyelidikan tuhan ini sebenarnya telah ada semenjak manusia ada di permukaan bumi ini. Salah satunya adalah nabi kita Nabi Ibrahim yang mana beliau berusaha untuk mengenal dan mengetahui siapa penguasa alam semesta ini, dan siapa Tuhan alam ini.
Suatu nikmat yang amat besar, yang ada pada diri manusia yang mana dengannya membuat manusia lebih tinggi derajatnya atau melebihi dari makhluk lainnya yaitu akal fikiran, yang mana dengan akal fikiran ini manusia bisa memenuhi fitrahnya atau tabi’atnya. Dengan akal ini manusia berusaha untuk mengetahui eksistensi yang ghaib, yang mana akal selalu mencoba mengkaji dan mengambil kepastian dan kebenaran.
Untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran akan adanya dan ke-Esaannya Tuhan, maka kita harus memiliki suatu metode berfikir yang mana untuk memudahkan dalam menemukan apa yang di tuju secara tepat dan cepat, yaitu dengan menggunakan “ logika dan dialektika” , yang mana logika adalah bagian dari filsafat yang mengajarka cara berfikir dengan benar, dan logika tidak menunjukan apa yang harus difikirkan, melainkan bagaimana tata cara berfikir.
Adapun hukum akal dalam menentukan suatu hal itu di bagi tiga hukum :
1) Wajib
2) Mungkin
3) Mustahil
Dalam filsafat ketuhanan ini kita menggunakan hukum akal yang “wajib” dan hukum akal yang “mungkin”, karena katagori mustahil tidak bisa mungkin terjadi wujudnya. Dan selanjutnya kita masuk kedalam hukum akal yang “mungkin” dengan contoh adanya suatu zat, maka adanya zat tersebut mesti dengan adanya suatu penyebab, dan zat tersebut tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan suatu sebab. Dan sesuatu yang wujud dari hukum akal “mungkin” maka ia termasuk zat yang baru, karena telah pasti bahwa dia tidak bisa wujud (ada) kecuali dengan suatu sebab, jadi makhluk atau alam ini termasuk manusia, hewan, tumbuhan, jika kita perhatikan termasuk dalam katagori “mungkin” karena ia terlebih dahulu tidak ada lalu ada dan kemungkinan lenyap (tidak ada).
Dari pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, dibalik makhluk yang berkatagori “mungkin” itu pasti ada yang wajib sebagai penyebab terjadinya barang yang mungkin, dan atas kehendak yang “wajib” inilah yang mungkin itu ada. Dan zat yang wajib itulah sebagai pangkal penyebab yang paling pertama.
Adapun cara untuk mengetahui akan adanya tuhan dengan cara berdialektika yaitu dengan cara memperhatikan alam sekitar kita, jika kita memandang kepada keadaan alam beserta isinya, maka kita akan melihat adanya tata-tertib dan hukum-hukum yang berlaku secara pasti. Tata-tertib tersebut dapat kita lihat dalam diri manusia, hewan, tumbuhan sampai kepada benda yang ada dilangit seperti : bulan, bintang, matahari, yang mana dengan tertibnya perjalanan mereka sesuai dengan porosnya, dan tidak berlawanan satu-sama lain. atas dasar tersebut maka pasti wajib ada pengatur yang berdiri diluar alam dan benda-benda tersebut, karena mustahil alam bisa mengatur dirinya sendiri. Dan pengatur itulah yang kita kenal sebagai “Tuhan”.
Dan banyak sekali ilmuan yang meyakini akan adanya Tuhan, baik ilmuwan barat maupun yang lainnya. Adapun pendapat ilmuan akan adanya tuhan sebagai berikut :
1. Plato
Plato sebagai ilmuwan dan filosof. Ia mengatakan bahwa alam ini mempunyai pembuat yang amat indah. Pembuat ini bersifat azaly, wajib ada zatnya dan pembuat itu mengetahui segala keadaan. Dan dalam kitab undang-undang Plato, menyebutkan bahwa “ada beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak mengetahuinya : manusia itu mempunyai tuhan, yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu”.
2. Melissos
Melissos adalah seorang filosof yang hidup pada abad kelima sebelum masehi. Dia mengemukakan pendapatnya, tentang adanya Tuhan yang maha Esa, “ yang ada, selalu ada, dan akan tetap ada”. Oleh karena itu yang ada mestilah kekal dan tidak berubah-rubah. Sebab kalau mengalami perubahan berarti sama dengan hal yang baru, dan yang baru itu mesti mengalami terjadi dan hilang. Sedangkan yang ada itu harus baqo (kekal).
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah ahli kedokteran dan ahli filsafat pada zaman pertengahan. Dalam mencari kebenaran tuhan dia sangat mengedepankan logika, yang menurut beliau fikiran adalah merupakan suatu jalan pengetahuan yang diberikan dengan suatu aturan yang teratur untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui
Menurut Ibnu Sina ada 3 katagori dalam menilai sesuatu yang ada :
 Penting dalam dirinya sendiri, yang tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (tuhan)
 Yang berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
 Makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya, seperti benda-benda yang tidak berakal.
Dan banyak lagi ilmuwan yang menetapkan akan adanya tuhan, zat yang maha kuasa. Seperti ilmuwan, Socrates, Al-kindy, Sir Isaac Newton, Thomas Aquino, Herbert Spencer, Clark, A. Hasan dan lain-lain.
Dan hampir semua ilmuwan mengakui akan adanya Tuhan. Walaupun mereka menempuh jalan yang berbeda, akan tetapi akhirnya mereka sampai ketempat atau tujuan yang sama, dan penyimpulan yang sama : Tuhan itu ada dan maha Esa.
Setelah kita membahas tentang filsafat ketuhanan atau adanya Tuhan. Maka dari ilmu tersebut kita dapat mengambil beberapa hikmah :
 Pembuktian adanya Tuhan
 Mengetahui jalan fikiran para filosof
 Mengetahui kebathilan atheisme dan syirik
 Menghindari taqlid buta
 Memperoleh ketaqwaan dan ketenangan hati
 Sebagai penunjang keagamaan kita.
Pada dasarnya dalam pencarian tuhan ini. Allah sendiri telah memperkenalkan dirinya melalui wahyu. Dan manusia mencari kebenaran atau tuhan dengan cara berfilsafat. Kepastian adanya tuhan sama saja dengan kepastian 3+2=5.
Kalau seseorang telah meyakini akan adanya Tuhan maka jangan ditanyakan lagi siapa yang menyebabkan adanya zat yang “wajib”( tuhan) itu. Karena kalau yang “wajib" itu masih disebabkan adanya oleh zat yang lain maka dia bukan lagi termasuk kedalam katagori “wajib”, melainkan kedalam katagori “mungkin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar