Selasa, 13 Desember 2011
Biografi Gusdur
(The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat saja: kompleks dan nyeleneh. Oleh karena itu, pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami, terutama dalam satu sudut tafsir atas dua kata itu. Tergantung siapa yang melihat dan memahami. Gus Dur sering kali dinilai sebagai sosok kontroversional, tidak terduga, bahkan weruh sak durunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum itu terjadi).
Tentu hal yang sangat menarik bagi Greg Barton, dalam buku ini berkesempatan memaparkan langsung biografi tokoh Indonesia yang tidak hanya dikagumi di kalangan sepantarannya, tapi juga bagi orang sederhana dan biasa-biasa saja. Pemahaman ini tidak didapat dari sekedar wawancara, tapi karena persahabatan yang begitu akrab termasuk mendampingi Gus Dur dalam kunjungan dan akhir masa jabatannya.
Gus Dur adalah seorang yang dibesarkan dari pesantren. Lahir pada tanggal 4 Sya’ban 1940 M di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Gus Dur memiliki nama asli Abdurrahman Ad-Dakhil. Pada zaman ini, pesantren merupakan bagian longgar dari Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam tradisional yang terkuat, baik di Jawa sendiri, maupun di luar Jawa. Terkait dengan hal ini, kedua kakek Gus Dur –Kyai Bisri Syansuri dan Kyai Hasyim Asy’ari-, merupakan ulama yang sangat dihormati di kalangan NU. Kedua orang ini selain sebagai kyai, juga sebagai pejuang negara sehingga secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional. Hal inilah yang membuat Gus Dur tidak hanya tumbuh dalam lingkungan agamis semata, tapi juga dari besar di lingkungan akademis dan politis.
Selain kedua kakeknya, ada tokoh kunci lain yang mempunyai banyak pengaruh terhadap kehidupan Gus Dur. Mereka adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Wahid Hasyim. Kyai Wahab adalah murid Kyai Hasyim Asy’ari, sekaligus keponakannya. Sama seperti Kyai Hasyim dan Kyai Bisri, Kyai Wahab juga menempuh pendidikan di Makkah dan berguru pada Syaikh Chatib Minangkabau. Sebelumnya, beliau berguru kepada Kyai Cholil di Bangkalan, Madura.
Tokoh kunci lain yang juga berpengaruh, tidak lain adalah ayah Gus Dur sendiri yakni Kyai Wahid Hasyim. Beliau dilahirkan di Tebuireng, Jombang, pada Juni 1914. Karena ibunya adalah seorang ningrat Jawa, maka Kyai Hasyim tidak menginginkan anaknya tinggal di dunia pesantren di pedesaan. Kyai Hasyim diajari seorang Eropa mengenai bahasa Inggris dan Belanda. Ketika berusia delapan belas tahun, ia berlayar ke Makkah selama dua tahun untuk belajar. Sekembalinya ke Tebuireng (1934), dia mulai mengembangkan gagasannya untuk mengkorelasikan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim memilih untuk aktif dalam kancah politik dan bergabung dengan NU.
Gus Dur menempuh pendidikan selama enam tahun di Pesantren Tebuireng di bawah bimbingan kakeknya sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari. Selain itu, Gus Dur juga dapat pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu untuk belajar bahasa Arab kepada Kyai Ali Ma’shum. Di sini, Gus Dur membuktikan bahwa dia anak yang cerdas sehingga pelajaran di pesantren dapat dicerna dengan mudah tanpa harus berusaha keras, maka ia punya banyak waktu luang untuk membaca. Dalam buku ini diceritakan, Gus Dur tidak hanya membaca buku agama saja. Ia mulai suka menonton film yang tentu kebiasaan ini sangat bertentangan bagi seorang calon kyai. Gus Dur juga tertarik dengan wayang kulit, dan bahkan membaca sastra picisan.
Pada saat ia mengajar di madrasah Tambakberas pada awal tahun 1960-an, ia mulai tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah. Gadis ini adalah salah satu dari gadis yang paling menarik di kelasnya dan tentu menarik seorang Gus Dur untuk menyuntingnya. Bagi Nuriyah, Gus Dur juga menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Akhirnya setelah menikah, pada bulan November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, karena mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, di Al-Azhar, Gus Dur merasa tidak cocok dengan sistem pendidikan yang diajarkan. Gus Dur lebih memilih banyak berdiskusi dan mengikuti organisasi ketimbang berada di kelas.
Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur aktif dalam organisasi yang membesarkannya –Nahdhatul Ulama-. Pada November 1994, Gus Dur muncul sebagai pemenang dalam pemilihan kembali ketua umum PBNU. Gus Dur kala itu, dianggap menang, karena ia telah mencapai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam masa Orde Barunya Soeharto.
Pergulatan politik Gus Dur sampai pada puncaknya ketika PKB didirikan pada tahun 1998, dan banyak anggota partai yang berharap Gus Dur menjadi presiden. Akhirnya, pada pemilu 1999, Gus Dur maju sebagai kandidat dan mengalahkan pesaing terkuatnya, Megawati. Kemenangan ini mengejutkan banyak pihak dan sungguh di luar dugaan pengamat politik Nusantara.
Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik untuk dikaji. Tentu mengesankan, memahami karakter seorang tokoh Indonesia yang dikenal karena ke-tidak laziman-nya, dikenal sangat toleran hingga mendapat julukan Bapak Pluralisme Indonesia.
Akhir kata, Indonesia masih memerlukan tokoh seperti Gus Dur. Arif dalam kata-katanya, santun dalam perilakunya. Hal ini akan tentu sangat didamba Indonesia di tengah banyaknya krisis moral dan amoral yang menimpa masyarakat negeri ini.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar