Selasa, 13 Desember 2011
Biografi Gusdur
(The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat saja: kompleks dan nyeleneh. Oleh karena itu, pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami, terutama dalam satu sudut tafsir atas dua kata itu. Tergantung siapa yang melihat dan memahami. Gus Dur sering kali dinilai sebagai sosok kontroversional, tidak terduga, bahkan weruh sak durunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum itu terjadi).
Tentu hal yang sangat menarik bagi Greg Barton, dalam buku ini berkesempatan memaparkan langsung biografi tokoh Indonesia yang tidak hanya dikagumi di kalangan sepantarannya, tapi juga bagi orang sederhana dan biasa-biasa saja. Pemahaman ini tidak didapat dari sekedar wawancara, tapi karena persahabatan yang begitu akrab termasuk mendampingi Gus Dur dalam kunjungan dan akhir masa jabatannya.
Gus Dur adalah seorang yang dibesarkan dari pesantren. Lahir pada tanggal 4 Sya’ban 1940 M di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Gus Dur memiliki nama asli Abdurrahman Ad-Dakhil. Pada zaman ini, pesantren merupakan bagian longgar dari Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam tradisional yang terkuat, baik di Jawa sendiri, maupun di luar Jawa. Terkait dengan hal ini, kedua kakek Gus Dur –Kyai Bisri Syansuri dan Kyai Hasyim Asy’ari-, merupakan ulama yang sangat dihormati di kalangan NU. Kedua orang ini selain sebagai kyai, juga sebagai pejuang negara sehingga secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional. Hal inilah yang membuat Gus Dur tidak hanya tumbuh dalam lingkungan agamis semata, tapi juga dari besar di lingkungan akademis dan politis.
Selain kedua kakeknya, ada tokoh kunci lain yang mempunyai banyak pengaruh terhadap kehidupan Gus Dur. Mereka adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Wahid Hasyim. Kyai Wahab adalah murid Kyai Hasyim Asy’ari, sekaligus keponakannya. Sama seperti Kyai Hasyim dan Kyai Bisri, Kyai Wahab juga menempuh pendidikan di Makkah dan berguru pada Syaikh Chatib Minangkabau. Sebelumnya, beliau berguru kepada Kyai Cholil di Bangkalan, Madura.
Tokoh kunci lain yang juga berpengaruh, tidak lain adalah ayah Gus Dur sendiri yakni Kyai Wahid Hasyim. Beliau dilahirkan di Tebuireng, Jombang, pada Juni 1914. Karena ibunya adalah seorang ningrat Jawa, maka Kyai Hasyim tidak menginginkan anaknya tinggal di dunia pesantren di pedesaan. Kyai Hasyim diajari seorang Eropa mengenai bahasa Inggris dan Belanda. Ketika berusia delapan belas tahun, ia berlayar ke Makkah selama dua tahun untuk belajar. Sekembalinya ke Tebuireng (1934), dia mulai mengembangkan gagasannya untuk mengkorelasikan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim memilih untuk aktif dalam kancah politik dan bergabung dengan NU.
Gus Dur menempuh pendidikan selama enam tahun di Pesantren Tebuireng di bawah bimbingan kakeknya sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari. Selain itu, Gus Dur juga dapat pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu untuk belajar bahasa Arab kepada Kyai Ali Ma’shum. Di sini, Gus Dur membuktikan bahwa dia anak yang cerdas sehingga pelajaran di pesantren dapat dicerna dengan mudah tanpa harus berusaha keras, maka ia punya banyak waktu luang untuk membaca. Dalam buku ini diceritakan, Gus Dur tidak hanya membaca buku agama saja. Ia mulai suka menonton film yang tentu kebiasaan ini sangat bertentangan bagi seorang calon kyai. Gus Dur juga tertarik dengan wayang kulit, dan bahkan membaca sastra picisan.
Pada saat ia mengajar di madrasah Tambakberas pada awal tahun 1960-an, ia mulai tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah. Gadis ini adalah salah satu dari gadis yang paling menarik di kelasnya dan tentu menarik seorang Gus Dur untuk menyuntingnya. Bagi Nuriyah, Gus Dur juga menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Akhirnya setelah menikah, pada bulan November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, karena mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, di Al-Azhar, Gus Dur merasa tidak cocok dengan sistem pendidikan yang diajarkan. Gus Dur lebih memilih banyak berdiskusi dan mengikuti organisasi ketimbang berada di kelas.
Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur aktif dalam organisasi yang membesarkannya –Nahdhatul Ulama-. Pada November 1994, Gus Dur muncul sebagai pemenang dalam pemilihan kembali ketua umum PBNU. Gus Dur kala itu, dianggap menang, karena ia telah mencapai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam masa Orde Barunya Soeharto.
Pergulatan politik Gus Dur sampai pada puncaknya ketika PKB didirikan pada tahun 1998, dan banyak anggota partai yang berharap Gus Dur menjadi presiden. Akhirnya, pada pemilu 1999, Gus Dur maju sebagai kandidat dan mengalahkan pesaing terkuatnya, Megawati. Kemenangan ini mengejutkan banyak pihak dan sungguh di luar dugaan pengamat politik Nusantara.
Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik untuk dikaji. Tentu mengesankan, memahami karakter seorang tokoh Indonesia yang dikenal karena ke-tidak laziman-nya, dikenal sangat toleran hingga mendapat julukan Bapak Pluralisme Indonesia.
Akhir kata, Indonesia masih memerlukan tokoh seperti Gus Dur. Arif dalam kata-katanya, santun dalam perilakunya. Hal ini akan tentu sangat didamba Indonesia di tengah banyaknya krisis moral dan amoral yang menimpa masyarakat negeri ini.**
Sabtu, 10 Desember 2011
HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latarbelakang
Gambaran ajaran Islam yang demikian ideal itu pernah dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh umat manusia di dunia. Namun kenyataan Islam sekarang menunjukkan keadaan yang jauh dari cita-cita ideal. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya berhenti pada sebatas menunaikan kewajiban, menggugurkan tugas dan menjadi lambang kesalehan individu, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial, sudah kurang nampak. Dikalangan masyarakat, telah terjadi kesalahpahaman dalam memahami, menafsirkan dan menghayati pesan simbolis keagamaan yang umumnya dituangkan dalam bentuk teks (nash) baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.
Berkaitan dengan aktivitas memahami dan menafsirkan teks (nash) ini dalam sejarah intelektual manusia banyak ditemui para tokoh di bidang keahliannya masing-masing telah berusaha mewariskan apa dan bagaimana cara memahami teks (nash) secara akurat, tepat, layak dan benar. Berbagai teori, konsep dan disiplin keilmuanpun muncul untuk menyelesaikan bidang ini, salah satunya adalah hermeneutika. tulisan ini mencoba untuk menyingkap tentang hermenutika sebagai sebuah disiplin kajian atau pendekatan yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran, khususnya pemahaman dan penafsiran makna teks sebagai sumber agama. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi makna teks dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, sehingga muncul kontektualisasi makna teks yang final goalnya tidak lain adalah membuktikan bahwa syari’at Islam, itu salihun likulli zaman wa makan. Dengan pendekatan hermeunitika ini maka diharapkan mampu menggali ajaran Islam yang sumbernya berupa teks al-Qur’an dan al-hadits yang agung dan ideal.
BAB II
PEMBAHASAN
A . Pengartian Hermeneutik
Hermeneutik berasal dari nama dewa Yunani, Hermes. Dewa Hermes menurut keyakinan orang-orang Yunani sebagai fungsi transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap inteligensia manusia. Sedangkan akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti’’menafsirkan’’, dan kata benda hermeneia, yang berarti ‘’interpretasi’’. Karena itu pertanyaan yang sering diajukan adalah: ‘’Apakah hermeneutika itu?’’. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan defininya sebagai: ’’studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya kajian tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel’’.
Istilah hermeneutik yang berasal dari bahasa Yunani ini berawal dari cerita bahwa tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Merkurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menterjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dari dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu, Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara pesan itu disampaikan. Oleh karna itu, hermeneutik pada akhirnya diaratikan sebagai ‘’proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi menegerti’’.
B. Aliran-aliran hermeneutik
Secara umum aliran-aliran hermeneutik adalah
1. Aliran objektivitas
yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friederick Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911),bahwa interpretasi berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarang.
Hermeneutik ini berurusan dengan teks-teks. Jika seseorang membaca sebuah teks dari pengarang yang hidup sezaman dengannya, ia bisa menanyakan langsung bila ada teks yang kurang ia pahami, sehingga pemahamannya dapat ditangkap secara kurang lebih lurus dari makna yang dimaksud pengarangnya.
Tapi bila membaca teks zaman dahulu yang kontak hubungan sipembaca terputus dalam jangka waktu yang panjang, sipembaca akan menemukan kesulitan dalam memahami isi teks atau ia salah dalam memahaminya, sehingga seseorang akan berusaha keras untuk menangkap makna yang dimaksudkan oleh pengarang. Disinilah seseorang berhadapan dengan masalah hermeneutik, yaitu bagaimana menafsirkan teks itu. Oleh karna itu,memahami hermeneutik teks sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan cara pandang seseorang terhadap produk-produk budaya masa lalu atau tradisi serta ilmu yang berkenan dengannya.
2. Aliran subjektivita
Bahwa interpretasi ditujukan untuk memahami apa yang tertera dalam teks. Menurut Gadamer ,kelompok subjektif,dalam kegiatan interpretasi,seseorang tidak perlu keluar dari tradisinya dan masuk dalam tradisi penulis. Disamping hal itu tidak mungkin, keluar dari tradisi juga berarti membunuh kreativitas dan pikiran seseorang. Masih menurut aliran subjektif, hermeneutika bukan lagi sekadar memproduksi ulang makna yang telah ada, namun juga memproduksi makna baru demi keutuhan masa kini sesuai dengan subjektivitas penafsir.
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan pemaknaan suatu teks bukan hal baru. Para filosof dan teolog abad-abad lalu menjadikannya sebagai metode dalam memaknai kitab suci agar tepat sesuai konteks zamannya. Bagi mereka, teks bukan sebuah warisan yang hanya bermakna saat dijabarkan secara harfiyah, tetapi sebuah proses pemaknaan yang amat mengandalkan subjek sebagai perespons dan konteks sosial yang melingkupinya. Pemahaman ini secara lebih menarik dijelaskan oleh T.Eagleton dalam Literary Theory An Introduction (1983) bahwa krisis ideologi Eropa, akibat pemikiran positivisme-ilmiah,dilihat sebagai latarbelakangnya. Disana, kondisi subjek tidak terlalu diberi tempat. Padahal, dalam beberapa keadaan, tidak sedikit perubahan sosial yang selain sulit dijelaskan, juga sulit dipahami karna tidak mengikuti kaidah ilmiah. GB Madison dalam The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes (1988) mengemukakan, karya-karya besar dalam sejarah tidak bisa dipagari oleh interpretasi definitive. Ia harus menjadi kajian terbuka yang memungkinkan interpretasi tanpa henti. Jadi pemahaman yang kontekstual lebih bermakna dengan melibatkan subjek dalam menyelami pandangan-pandangan dunia.
Salah satu tokoh aliran ini adalah Abu Zayd, ia menawarkan hermeneutika demokratis untuk memahami teks, yang dalam hermeneutika, teks dapat dipahami dengan memberikan penghargaan yang besar terhadap sisi kemanusiaan pembaca dalam berdialektik dengan tuntutan kontemporer.
C. Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa arab, fassara, yufassiru, tafsiiran yang artinya penjelasan, pemahaman, dan perincian. Pendapat lain mengatakan bahwa , tafsir yang setimbangan taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyaf yang berarti membuka atau menyingkap.
Secara istilah, ilmu tafsir, menurut Abu Hayan, ialah’’ ilmu yang membahas cara menghafalkan lafad-lafad al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zhahir sebatas kemampuan manusia’’. Oleh karna itu, ilmu tafsir berusaha mencoba menjelaskan kehendak Allah dalam batas kemampuan para mufasir. Al-jurjani mengatakan bahwa tafsir adalah ‘’menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas’’. Sementara itu, Imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ‘’ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki oleh Allah, menurut kadar kesanggupan manusia’’. Selanjutnya Az-Zarkasyi megatakan bahwa tafsir adalah ‘’ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabulloh ( al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya’’.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir berfungsi menjelaskan segala yang disyari’atkan oleh Allah kepada manusia untuk ditaati dan dilaksanakan karena mengandung hukum di dalamnya..
D. Tafsir sebagai Studi Hermeneutik
Walaupun hermeneutik merupakan sesuatu yang problematik dan polemis, tetapi tetap menjadi topik yang menarik dan dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk memahami teks-teks suci. Karya Muhammad Syharur, al-Kitab wa al-Qiraah: Qiraah Mu’ashirah (diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin menjadi Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-quran Kontemporer, (Yogyakarta: elSAQ Press,2004) membuktikan kecendrungannya menggunakan pendekatan hermeneutika sebagai pisau analisis mengkaji sumber ajaran islam, yakni Al-quran. Dan menurut Nasr Hamid Abu Zaid dalam artikelnya’’The Simple Task: The Complicated Theory (A Commentary on Muhammad Shahrour’s Project)’’ yang secara khusus ditulis sebagai pengantar karya Muhammad Syahrur, ‘’al-Kitab wa al-Qiraah muahashirah’’, bagaimana pun keadaan menuntut seruan mengkaji kembali Al-Quran dan As-Sunnah, menafsirkan kembali secara tepat dengan cara atau metode non-tradisional yaitu dengaan cara menentukan struktur dan membatasi pendekatan masalahnya.
Oleh karna itu,disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua yang bersumber dari ilahi seperti al-Quran, supaya dapat dipahami dan dimengerti, maka diperlukan interpretasi atau hermeneutik agar tidak salah dalam memahami dan mengamalkannya.
E. Perbedaan antara Tafsir dan Hermeneutik
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yang berkaitan dengan sejarah dewa Hermes yang bertugas menerjemahkan pesan-pesan dari dewa gunung ke bahasa yang dapat dimengerti manusia. Hermeneutika pernah berjaya dalam menafsirkan Bibel (kitab suci umat Kristen). Dan memang suatu hal yang tidak aneh jika hermeneutika berhasil diterapkan pada Bibel, atau bahkan mungkin Bibel memerlukannya. Karena menurut penelitian para Kristolog, kitab Bibel yang tidak lagi ditulis dengan bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak pengarang dengan versi yang berbeda-beda. Dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifikan. Bahkan masing-masing Bibel seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan lainnya. (Untuk lebih jelas, baca buku Dokumen Pemalsuan Alkitab karangan Molya di Samuel AM, Victory Press-Surabaya, 2002).
Sedangkan tafsir berasal dari bahasa arab yang artinya penjelasan. Penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur‘an yang merupakan kalamullah, (firman Allah). Al-Qur‘an tidak dikarang oleh manusia, dan sampai hari ini Al-Qur‘an akan tetap ditulis dan dibaca menurut bahasa aslinya. Berbeda dengan hermeneutik yang objek kajiannya adalah kitab suci nasarani yang telah diubah-ubah oleh pemeluknya sendiri.
F. Tipologi Tafsir
Tipologi atau macam-macam tafsir yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer yaitu:
1) Tafsir tahlili
Tafsir tahlili(disebut juga tafsir tajzi’iy oleh Baqir al-Shadr), yaitu satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf.
Jadi mufasir pertama-tama menjelaskan kosa kata, lalu asbab al- nuzul, munasabat, dan lain-lain yang berhubungan teks atau kandungan ayat, lalu memberikan penjelasan final mengenai isi dan maksud ayat al-Qur’an tersebut. Contoh tafsir ini adalah tafsir al- Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari.
2) Tafsir ijmali
Tafsir ijmali disebut juga dengan tafsir secara global, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam prakteknya tafsir ini sering terintegrasi dengan tafsir tahlili, karna itu tafsir ini seringkali tidak dibahas secara sendiri. Dengan metode ini mufasir cukup menjelaskan kandungan ayat secara garis besar saja.
3) Tafsir muqrin,
Tafsir Muqrin yaitu metode menafsiran kitab suci dengan cara membandingkan ayat pendekatan ayat lainnya yang memiliki kemiripan redaksi, baik dalam kasus yang sama atau beda. Metode ini juga bisa berarti membandingkan ayat pendekatan dengan hadis, hadis dengan hadis atau pendapat para ulama tafsir.
4) Tafsir maudhu’i
Tafsir Maudu’i atau yang disebut juga tafsir tematik, yaitu cara penafsiran kitab suci dengan cara menghimpunkan ayat-ayat pendekatan dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Atau dengan cara mengangkat gagasan dasar pendekatan yang merespons teme-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah.
Pendapat lain mengatakan bahwa dari keterlibatan akal, tafsir terbagi menjadi dua, yaitu tafsir riwayah dan tafsir dirayah.
a. Tafsir Riwayah
Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur. Corak penafsiran ini bersumber pada penafsiran rasululloh, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran. Contoh tafsir ini adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Thabari.
b. Tafsir Dirayah
Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah tafsir dengan cara berijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih. Tafsir dirayah inilah yang terbagi menjadi tafsir tahlili, ijmali, muqrin dan maudhu’i.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari urian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ‘’hermeneuein’’ yang berarti menafsirkan, dan kata bendanya’’ hermeneia’’ yang berarti penafsiran atau interpretasi.
2. Aliran-aliran hermeneutic secara umum terbagi menjadi dua yaitu: aliran objektivitas dan subjektivitas.
3. Tafsir berasal dari bahasa arab’’ fassara, yufassiru, tafsiiran’’ yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian.
4. Tafsir merupakan salah satu studi hermeneutik, karena objek ilmu tafsir adalah al-Qur’an yang merupkan kitab suci, sehingga harus di interpretasi agar sesuai dengan perkembangan zaman.
5. Perbedaan antara tafsir dan hermeneutik adalah tafsir berasal dari bahasa arab yang digunakan untuk menjelaskan kitab suci al-Qur’an yang tidak pernah bisa di ubah oleh manusia, sedangkan hermeneutik barasal dari bahasa Yunani yang pernah berhasil dalam menafsirkan Bibel yang merupakan kitab suci kristiani dan telah diubah-ubah oleh pemeluknya.
6. Tipologi tafsir berdasarkan peranan akal ada dua, yaitu tafsir riwayah dan tafsir dirayah.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,Atang ABD. 2010. Metodologi Studi Islam, edisi revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nata,Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Sahrodi,Jamali. 2008. Metodologi Studi Islam, Bandung: CV.Pustaka Setia.
Sumaryono,E. 2007. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat,edisi revisi, Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusunan Studi Islam Iain Ampel Surabaya. 2004. Pengantar Studi Islam, Surabaya: Iain Sunan Ampel Press.
Jumat, 09 Desember 2011
Filsafat Ketuhanan
Assalamu'alaikum Wr. Wb.....?
Bismillahirahan nirahim........
Ketika manusia mulai menyadari akan eksistensi dirinya, maka mulailah terdetik dalam hatinya sendiri tentang keeksistansiannya sebagai manusia, yang mana timbul dari berbagai hal. Yang mana ia selalu cenderung ingin mengetahui berbagai rahasia serta misteri yang silih berganti dalam kehidupannya, melalui kecenderungannya yang selalu ingin mengetahui, maka terdetik dalam dirinya berbagai pertanyaan seperti : Dari mana saya ini ? mengapa saya tiba-tiba ada ? dan siapa yang mengadakan saya ? dari pertanyaan itu maka akan terfikirkan oleh kita dan mempertanyakan tentang siapa penguasa tertinggi alam raya sehingga mampu menciftakan alam ini dengan aturan-aturan yang begitu indah dan rapi. Fitrah manusia ini akan lebih besar ketika seseorang beranjak dewasa, yang mana ia telah mengalami berbagai pengalaman dan misteri-misteri yang ia alami dalam kehdupan ini. Sehingga tersirat dalam dirinya siapa penguasa dibalik misteri serta iradah ini.
Untuk memenuhi fitrahnya tersebut bukan saja naluri yang berjalan tetapi otak dan logika manusia pun mulai bermain, untuk mengetahui tentang adanya Tuhan. Maka untuk memenuhi fitrahnya itu manusia mulai mencari dan merindukan Tuhan. Dan manusia mulai melakukan berbagai usaha dari yang dangkal berupa perasaan sampai ketingkat yang lebih tinggi yaitu menggunakan akal ( Filsafat ). Kekuatan fitrah ini tidak dapat dihapuskan, karena hal tersebut merupakan cara memanifestasikan fitrahnya tersebut.
Sebelum kita membahas tentang Filsafat ketuhanan alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu akan makna atau pengertian dari Filsafat tersebut. Adapun pengertian filsafat sebagaimana telah kita ketahui bahwa kata filsafat adalah bentuk kata arab yang bersala dari bahasa yunani “Philosophia” yang merupakan kata majemuk “ Philo” berarti Suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi dapat kita simpulkan arti filsafat menurut namanya adalah cinta kepada kebijaksanaan. Kata filsafat dapat kita temukan dalam Al-qur’an dengan istilah Hikam dan Hukama yang artinya maha bijaksana, bahkan kata hikam berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an, dan hikmah itu diperoleh dari Tuhan.
Sesuai dengan tabiatnya yang cenderung ingin mengetahui segala sesuatu yang “ada” dan yang “mungkin ada” menurut akal fikirannya. Atas dasar tersebut maka manusia mulai mencari cara untuk mencapai kepada suatu kebenaran yaitu dengan cara berfilsafat yang berobjek “ MUTLAK ADA” yaitu sesuatu yang ada secara mutlak , yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada sesuatupun juga, yang adanya tidak ada permulaannya dan tidak ada penghabisannya ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti, ia merupakan asal adanya segala sesuatu, yaitu Tuhan dalam bahasa yunani “Odicea” dan dalam bahasa arab “Illahu” atau “Allah”.
Hakikat persoalan pencarian dan penyelidikan tuhan ini sebenarnya telah ada semenjak manusia ada di permukaan bumi ini. Salah satunya adalah nabi kita Nabi Ibrahim yang mana beliau berusaha untuk mengenal dan mengetahui siapa penguasa alam semesta ini, dan siapa Tuhan alam ini.
Suatu nikmat yang amat besar, yang ada pada diri manusia yang mana dengannya membuat manusia lebih tinggi derajatnya atau melebihi dari makhluk lainnya yaitu akal fikiran, yang mana dengan akal fikiran ini manusia bisa memenuhi fitrahnya atau tabi’atnya. Dengan akal ini manusia berusaha untuk mengetahui eksistensi yang ghaib, yang mana akal selalu mencoba mengkaji dan mengambil kepastian dan kebenaran.
Untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran akan adanya dan ke-Esaannya Tuhan, maka kita harus memiliki suatu metode berfikir yang mana untuk memudahkan dalam menemukan apa yang di tuju secara tepat dan cepat, yaitu dengan menggunakan “ logika dan dialektika” , yang mana logika adalah bagian dari filsafat yang mengajarka cara berfikir dengan benar, dan logika tidak menunjukan apa yang harus difikirkan, melainkan bagaimana tata cara berfikir.
Adapun hukum akal dalam menentukan suatu hal itu di bagi tiga hukum :
1) Wajib
2) Mungkin
3) Mustahil
Dalam filsafat ketuhanan ini kita menggunakan hukum akal yang “wajib” dan hukum akal yang “mungkin”, karena katagori mustahil tidak bisa mungkin terjadi wujudnya. Dan selanjutnya kita masuk kedalam hukum akal yang “mungkin” dengan contoh adanya suatu zat, maka adanya zat tersebut mesti dengan adanya suatu penyebab, dan zat tersebut tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan suatu sebab. Dan sesuatu yang wujud dari hukum akal “mungkin” maka ia termasuk zat yang baru, karena telah pasti bahwa dia tidak bisa wujud (ada) kecuali dengan suatu sebab, jadi makhluk atau alam ini termasuk manusia, hewan, tumbuhan, jika kita perhatikan termasuk dalam katagori “mungkin” karena ia terlebih dahulu tidak ada lalu ada dan kemungkinan lenyap (tidak ada).
Dari pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, dibalik makhluk yang berkatagori “mungkin” itu pasti ada yang wajib sebagai penyebab terjadinya barang yang mungkin, dan atas kehendak yang “wajib” inilah yang mungkin itu ada. Dan zat yang wajib itulah sebagai pangkal penyebab yang paling pertama.
Adapun cara untuk mengetahui akan adanya tuhan dengan cara berdialektika yaitu dengan cara memperhatikan alam sekitar kita, jika kita memandang kepada keadaan alam beserta isinya, maka kita akan melihat adanya tata-tertib dan hukum-hukum yang berlaku secara pasti. Tata-tertib tersebut dapat kita lihat dalam diri manusia, hewan, tumbuhan sampai kepada benda yang ada dilangit seperti : bulan, bintang, matahari, yang mana dengan tertibnya perjalanan mereka sesuai dengan porosnya, dan tidak berlawanan satu-sama lain. atas dasar tersebut maka pasti wajib ada pengatur yang berdiri diluar alam dan benda-benda tersebut, karena mustahil alam bisa mengatur dirinya sendiri. Dan pengatur itulah yang kita kenal sebagai “Tuhan”.
Dan banyak sekali ilmuan yang meyakini akan adanya Tuhan, baik ilmuwan barat maupun yang lainnya. Adapun pendapat ilmuan akan adanya tuhan sebagai berikut :
1. Plato
Plato sebagai ilmuwan dan filosof. Ia mengatakan bahwa alam ini mempunyai pembuat yang amat indah. Pembuat ini bersifat azaly, wajib ada zatnya dan pembuat itu mengetahui segala keadaan. Dan dalam kitab undang-undang Plato, menyebutkan bahwa “ada beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak mengetahuinya : manusia itu mempunyai tuhan, yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu”.
2. Melissos
Melissos adalah seorang filosof yang hidup pada abad kelima sebelum masehi. Dia mengemukakan pendapatnya, tentang adanya Tuhan yang maha Esa, “ yang ada, selalu ada, dan akan tetap ada”. Oleh karena itu yang ada mestilah kekal dan tidak berubah-rubah. Sebab kalau mengalami perubahan berarti sama dengan hal yang baru, dan yang baru itu mesti mengalami terjadi dan hilang. Sedangkan yang ada itu harus baqo (kekal).
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah ahli kedokteran dan ahli filsafat pada zaman pertengahan. Dalam mencari kebenaran tuhan dia sangat mengedepankan logika, yang menurut beliau fikiran adalah merupakan suatu jalan pengetahuan yang diberikan dengan suatu aturan yang teratur untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui
Menurut Ibnu Sina ada 3 katagori dalam menilai sesuatu yang ada :
Penting dalam dirinya sendiri, yang tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (tuhan)
Yang berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
Makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya, seperti benda-benda yang tidak berakal.
Dan banyak lagi ilmuwan yang menetapkan akan adanya tuhan, zat yang maha kuasa. Seperti ilmuwan, Socrates, Al-kindy, Sir Isaac Newton, Thomas Aquino, Herbert Spencer, Clark, A. Hasan dan lain-lain.
Dan hampir semua ilmuwan mengakui akan adanya Tuhan. Walaupun mereka menempuh jalan yang berbeda, akan tetapi akhirnya mereka sampai ketempat atau tujuan yang sama, dan penyimpulan yang sama : Tuhan itu ada dan maha Esa.
Setelah kita membahas tentang filsafat ketuhanan atau adanya Tuhan. Maka dari ilmu tersebut kita dapat mengambil beberapa hikmah :
Pembuktian adanya Tuhan
Mengetahui jalan fikiran para filosof
Mengetahui kebathilan atheisme dan syirik
Menghindari taqlid buta
Memperoleh ketaqwaan dan ketenangan hati
Sebagai penunjang keagamaan kita.
Pada dasarnya dalam pencarian tuhan ini. Allah sendiri telah memperkenalkan dirinya melalui wahyu. Dan manusia mencari kebenaran atau tuhan dengan cara berfilsafat. Kepastian adanya tuhan sama saja dengan kepastian 3+2=5.
Kalau seseorang telah meyakini akan adanya Tuhan maka jangan ditanyakan lagi siapa yang menyebabkan adanya zat yang “wajib”( tuhan) itu. Karena kalau yang “wajib" itu masih disebabkan adanya oleh zat yang lain maka dia bukan lagi termasuk kedalam katagori “wajib”, melainkan kedalam katagori “mungkin”.
Bismillahirahan nirahim........
Ketika manusia mulai menyadari akan eksistensi dirinya, maka mulailah terdetik dalam hatinya sendiri tentang keeksistansiannya sebagai manusia, yang mana timbul dari berbagai hal. Yang mana ia selalu cenderung ingin mengetahui berbagai rahasia serta misteri yang silih berganti dalam kehidupannya, melalui kecenderungannya yang selalu ingin mengetahui, maka terdetik dalam dirinya berbagai pertanyaan seperti : Dari mana saya ini ? mengapa saya tiba-tiba ada ? dan siapa yang mengadakan saya ? dari pertanyaan itu maka akan terfikirkan oleh kita dan mempertanyakan tentang siapa penguasa tertinggi alam raya sehingga mampu menciftakan alam ini dengan aturan-aturan yang begitu indah dan rapi. Fitrah manusia ini akan lebih besar ketika seseorang beranjak dewasa, yang mana ia telah mengalami berbagai pengalaman dan misteri-misteri yang ia alami dalam kehdupan ini. Sehingga tersirat dalam dirinya siapa penguasa dibalik misteri serta iradah ini.
Untuk memenuhi fitrahnya tersebut bukan saja naluri yang berjalan tetapi otak dan logika manusia pun mulai bermain, untuk mengetahui tentang adanya Tuhan. Maka untuk memenuhi fitrahnya itu manusia mulai mencari dan merindukan Tuhan. Dan manusia mulai melakukan berbagai usaha dari yang dangkal berupa perasaan sampai ketingkat yang lebih tinggi yaitu menggunakan akal ( Filsafat ). Kekuatan fitrah ini tidak dapat dihapuskan, karena hal tersebut merupakan cara memanifestasikan fitrahnya tersebut.
Sebelum kita membahas tentang Filsafat ketuhanan alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu akan makna atau pengertian dari Filsafat tersebut. Adapun pengertian filsafat sebagaimana telah kita ketahui bahwa kata filsafat adalah bentuk kata arab yang bersala dari bahasa yunani “Philosophia” yang merupakan kata majemuk “ Philo” berarti Suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi dapat kita simpulkan arti filsafat menurut namanya adalah cinta kepada kebijaksanaan. Kata filsafat dapat kita temukan dalam Al-qur’an dengan istilah Hikam dan Hukama yang artinya maha bijaksana, bahkan kata hikam berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an, dan hikmah itu diperoleh dari Tuhan.
Sesuai dengan tabiatnya yang cenderung ingin mengetahui segala sesuatu yang “ada” dan yang “mungkin ada” menurut akal fikirannya. Atas dasar tersebut maka manusia mulai mencari cara untuk mencapai kepada suatu kebenaran yaitu dengan cara berfilsafat yang berobjek “ MUTLAK ADA” yaitu sesuatu yang ada secara mutlak , yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada sesuatupun juga, yang adanya tidak ada permulaannya dan tidak ada penghabisannya ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti, ia merupakan asal adanya segala sesuatu, yaitu Tuhan dalam bahasa yunani “Odicea” dan dalam bahasa arab “Illahu” atau “Allah”.
Hakikat persoalan pencarian dan penyelidikan tuhan ini sebenarnya telah ada semenjak manusia ada di permukaan bumi ini. Salah satunya adalah nabi kita Nabi Ibrahim yang mana beliau berusaha untuk mengenal dan mengetahui siapa penguasa alam semesta ini, dan siapa Tuhan alam ini.
Suatu nikmat yang amat besar, yang ada pada diri manusia yang mana dengannya membuat manusia lebih tinggi derajatnya atau melebihi dari makhluk lainnya yaitu akal fikiran, yang mana dengan akal fikiran ini manusia bisa memenuhi fitrahnya atau tabi’atnya. Dengan akal ini manusia berusaha untuk mengetahui eksistensi yang ghaib, yang mana akal selalu mencoba mengkaji dan mengambil kepastian dan kebenaran.
Untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran akan adanya dan ke-Esaannya Tuhan, maka kita harus memiliki suatu metode berfikir yang mana untuk memudahkan dalam menemukan apa yang di tuju secara tepat dan cepat, yaitu dengan menggunakan “ logika dan dialektika” , yang mana logika adalah bagian dari filsafat yang mengajarka cara berfikir dengan benar, dan logika tidak menunjukan apa yang harus difikirkan, melainkan bagaimana tata cara berfikir.
Adapun hukum akal dalam menentukan suatu hal itu di bagi tiga hukum :
1) Wajib
2) Mungkin
3) Mustahil
Dalam filsafat ketuhanan ini kita menggunakan hukum akal yang “wajib” dan hukum akal yang “mungkin”, karena katagori mustahil tidak bisa mungkin terjadi wujudnya. Dan selanjutnya kita masuk kedalam hukum akal yang “mungkin” dengan contoh adanya suatu zat, maka adanya zat tersebut mesti dengan adanya suatu penyebab, dan zat tersebut tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan suatu sebab. Dan sesuatu yang wujud dari hukum akal “mungkin” maka ia termasuk zat yang baru, karena telah pasti bahwa dia tidak bisa wujud (ada) kecuali dengan suatu sebab, jadi makhluk atau alam ini termasuk manusia, hewan, tumbuhan, jika kita perhatikan termasuk dalam katagori “mungkin” karena ia terlebih dahulu tidak ada lalu ada dan kemungkinan lenyap (tidak ada).
Dari pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, dibalik makhluk yang berkatagori “mungkin” itu pasti ada yang wajib sebagai penyebab terjadinya barang yang mungkin, dan atas kehendak yang “wajib” inilah yang mungkin itu ada. Dan zat yang wajib itulah sebagai pangkal penyebab yang paling pertama.
Adapun cara untuk mengetahui akan adanya tuhan dengan cara berdialektika yaitu dengan cara memperhatikan alam sekitar kita, jika kita memandang kepada keadaan alam beserta isinya, maka kita akan melihat adanya tata-tertib dan hukum-hukum yang berlaku secara pasti. Tata-tertib tersebut dapat kita lihat dalam diri manusia, hewan, tumbuhan sampai kepada benda yang ada dilangit seperti : bulan, bintang, matahari, yang mana dengan tertibnya perjalanan mereka sesuai dengan porosnya, dan tidak berlawanan satu-sama lain. atas dasar tersebut maka pasti wajib ada pengatur yang berdiri diluar alam dan benda-benda tersebut, karena mustahil alam bisa mengatur dirinya sendiri. Dan pengatur itulah yang kita kenal sebagai “Tuhan”.
Dan banyak sekali ilmuan yang meyakini akan adanya Tuhan, baik ilmuwan barat maupun yang lainnya. Adapun pendapat ilmuan akan adanya tuhan sebagai berikut :
1. Plato
Plato sebagai ilmuwan dan filosof. Ia mengatakan bahwa alam ini mempunyai pembuat yang amat indah. Pembuat ini bersifat azaly, wajib ada zatnya dan pembuat itu mengetahui segala keadaan. Dan dalam kitab undang-undang Plato, menyebutkan bahwa “ada beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak mengetahuinya : manusia itu mempunyai tuhan, yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu”.
2. Melissos
Melissos adalah seorang filosof yang hidup pada abad kelima sebelum masehi. Dia mengemukakan pendapatnya, tentang adanya Tuhan yang maha Esa, “ yang ada, selalu ada, dan akan tetap ada”. Oleh karena itu yang ada mestilah kekal dan tidak berubah-rubah. Sebab kalau mengalami perubahan berarti sama dengan hal yang baru, dan yang baru itu mesti mengalami terjadi dan hilang. Sedangkan yang ada itu harus baqo (kekal).
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah ahli kedokteran dan ahli filsafat pada zaman pertengahan. Dalam mencari kebenaran tuhan dia sangat mengedepankan logika, yang menurut beliau fikiran adalah merupakan suatu jalan pengetahuan yang diberikan dengan suatu aturan yang teratur untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui
Menurut Ibnu Sina ada 3 katagori dalam menilai sesuatu yang ada :
Penting dalam dirinya sendiri, yang tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (tuhan)
Yang berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
Makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya, seperti benda-benda yang tidak berakal.
Dan banyak lagi ilmuwan yang menetapkan akan adanya tuhan, zat yang maha kuasa. Seperti ilmuwan, Socrates, Al-kindy, Sir Isaac Newton, Thomas Aquino, Herbert Spencer, Clark, A. Hasan dan lain-lain.
Dan hampir semua ilmuwan mengakui akan adanya Tuhan. Walaupun mereka menempuh jalan yang berbeda, akan tetapi akhirnya mereka sampai ketempat atau tujuan yang sama, dan penyimpulan yang sama : Tuhan itu ada dan maha Esa.
Setelah kita membahas tentang filsafat ketuhanan atau adanya Tuhan. Maka dari ilmu tersebut kita dapat mengambil beberapa hikmah :
Pembuktian adanya Tuhan
Mengetahui jalan fikiran para filosof
Mengetahui kebathilan atheisme dan syirik
Menghindari taqlid buta
Memperoleh ketaqwaan dan ketenangan hati
Sebagai penunjang keagamaan kita.
Pada dasarnya dalam pencarian tuhan ini. Allah sendiri telah memperkenalkan dirinya melalui wahyu. Dan manusia mencari kebenaran atau tuhan dengan cara berfilsafat. Kepastian adanya tuhan sama saja dengan kepastian 3+2=5.
Kalau seseorang telah meyakini akan adanya Tuhan maka jangan ditanyakan lagi siapa yang menyebabkan adanya zat yang “wajib”( tuhan) itu. Karena kalau yang “wajib" itu masih disebabkan adanya oleh zat yang lain maka dia bukan lagi termasuk kedalam katagori “wajib”, melainkan kedalam katagori “mungkin”.
Kamis, 08 Desember 2011
Pemikiran Jalaluddin Rumi
Bismillahirahmanirahiim
Pemikiran jalaludin rumi yang saya dapat dari filsafat tasawuf ialah beliau lebih tendensi akan ma’rifah dan cinta. Dan beliau sebagai seorang sufi yang dipenuhi oleh kemabukan mistik (dzawuq) dan jiwanya yang memancarkan cinta ilahi dapat membawanya kejalan ma’rifah.
Menurut rumi perubahan bisa terjadi apabila seseorang mendapat pencerahan. Untuk mendapatkan pencerahan tersebut, seseorang harus bersedia menempuh jalan cinta. Yang mana dalam diri manusia terdapat tenaga tersembunyi, yang jika digunakan secra benar, akan membuat seseorang bahagia, bebas dari kungkungan dunia, dan memiliki pengetahuan luas tentang tuhan dan manusia, tenaga tersebut disebut ‘Isyq-ilahi (cinta alahi). Tujuan mistisisme cinta rumi ialah melakukan perjalanan rohani menuju diri haqiqi dan kebakaan, dimana ”yang satu” bersemayam. Ia berpendapat bahwa apabila seseorang ingin memhami kehidupan dan asau-usul ketuhanan dari dirinya, dapat ditempuh dengan jalan cinta bukan semata-mata dengan jalan pengetahuan. Karena cinta merupakan asas penciftaan alam semesta dan kehidupan, dan merupakan keinginan yang kuat untuk mencapai seswtu, untk mnjelmakan diri. Dengan menciftakan sgla swtu d bumi, Tuhan ingin memperkenalkan haqiqat diri-Nya. dan cinta merupakan rahasia ketuhanan dan rahasia penciptaan. mnrt rumi cinta sejati dapat mmbwa ssrang mngenal alam hakiki yg trsmbunyi dalm bntuk-bntuk lahiriyyah kehdupan. Dan rumi yakin bahwa pengalaman mistik dpt mmbersihkan penglihatan qalbu, seiring dngan itu maka qalbu dpat menyaksikan bahwa wujud hakiki adlah satu, sdangkan wjud yng lain adlh nisbi.dan dlam penglman kesufian hal yang nisbi itu akan sirna tercampak oleh cinta dan kepanaan. Melalui pernyataan Rumi tersbut dpt sya simpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai para sufi melalui jalan cinta ialah mengenal tuhan sebgai wujud haqiqi yg meliputi smua wujud, dan inilah yng disbut ma’rifah.
Untuk lbih mengetahui akan gagasan tasawuf rumi. Dapat kita lihat dari karya2 bliau melalui puisi, prosa puisi, khatbah, dan dialog. Diantara yg mshur ialah: Diwan-I Shamsi Tabriz, Matsnawi-I Ma’nawi, Ruba’iyyat, Fihi Ma Fihi, Makatib, dan majalis-I Sab’ah.
wasallam....
Pemikiran jalaludin rumi yang saya dapat dari filsafat tasawuf ialah beliau lebih tendensi akan ma’rifah dan cinta. Dan beliau sebagai seorang sufi yang dipenuhi oleh kemabukan mistik (dzawuq) dan jiwanya yang memancarkan cinta ilahi dapat membawanya kejalan ma’rifah.
Menurut rumi perubahan bisa terjadi apabila seseorang mendapat pencerahan. Untuk mendapatkan pencerahan tersebut, seseorang harus bersedia menempuh jalan cinta. Yang mana dalam diri manusia terdapat tenaga tersembunyi, yang jika digunakan secra benar, akan membuat seseorang bahagia, bebas dari kungkungan dunia, dan memiliki pengetahuan luas tentang tuhan dan manusia, tenaga tersebut disebut ‘Isyq-ilahi (cinta alahi). Tujuan mistisisme cinta rumi ialah melakukan perjalanan rohani menuju diri haqiqi dan kebakaan, dimana ”yang satu” bersemayam. Ia berpendapat bahwa apabila seseorang ingin memhami kehidupan dan asau-usul ketuhanan dari dirinya, dapat ditempuh dengan jalan cinta bukan semata-mata dengan jalan pengetahuan. Karena cinta merupakan asas penciftaan alam semesta dan kehidupan, dan merupakan keinginan yang kuat untuk mencapai seswtu, untk mnjelmakan diri. Dengan menciftakan sgla swtu d bumi, Tuhan ingin memperkenalkan haqiqat diri-Nya. dan cinta merupakan rahasia ketuhanan dan rahasia penciptaan. mnrt rumi cinta sejati dapat mmbwa ssrang mngenal alam hakiki yg trsmbunyi dalm bntuk-bntuk lahiriyyah kehdupan. Dan rumi yakin bahwa pengalaman mistik dpt mmbersihkan penglihatan qalbu, seiring dngan itu maka qalbu dpat menyaksikan bahwa wujud hakiki adlah satu, sdangkan wjud yng lain adlh nisbi.dan dlam penglman kesufian hal yang nisbi itu akan sirna tercampak oleh cinta dan kepanaan. Melalui pernyataan Rumi tersbut dpt sya simpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai para sufi melalui jalan cinta ialah mengenal tuhan sebgai wujud haqiqi yg meliputi smua wujud, dan inilah yng disbut ma’rifah.
Untuk lbih mengetahui akan gagasan tasawuf rumi. Dapat kita lihat dari karya2 bliau melalui puisi, prosa puisi, khatbah, dan dialog. Diantara yg mshur ialah: Diwan-I Shamsi Tabriz, Matsnawi-I Ma’nawi, Ruba’iyyat, Fihi Ma Fihi, Makatib, dan majalis-I Sab’ah.
wasallam....
Langganan:
Komentar (Atom)


