Sabtu, 01 Agustus 2015
VENDING MACHINE; DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.”
Secara etimologi jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan البيع yang berarti menjual, Lafal البيع dalam bahasa Arab terkadang digunakan kata الشراء . Selain dua kalimat diatas masih ada beberapa istilah yang masih berkaitan/mengandung arti jual-beli yaitu: al-tija>rah, (tas}arruf), dan al-muba>dalah. Semua kalimat diatas memiliki esensi yang sama yaitu jual-beli.
Adapun secara terminology (istilah) jual-beli adalah “menukarkan sesuatu dengan sesuatu” atau” mengganti sesuatu dengan sesuatu”. Menurut Imam Sha>fi’i>, jual-beli adalah kegiatan saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan barang dalam kata kepemilikan. Sedangkan Imam Taqiyu al-Di>n mendefinisikan jual-beli adalah saling tukar menukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tas}arruf) dengan ija>b dan qabu>l, dengan cara yang dilegalkan syara’. dalam kitab al-Fiqhihul Islami wa Adilatuhu jual beli berarti muqa>balatu shai’in artinya adalah menukar sesuatu dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dari klausul diatas dapat di pahami bahwa inti jual- beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Dalam kitab fiqh al-Waadih, dikatakan bahwa jual-beli merupakan solusi yang sangat efesien dan efektif bagi seseorang yang ingin meraup kekayaan, karena jual-beli dipandang sebagai cara tercepat untuk memperoleh kekayaan. Bukti empiric (nyata) dan sudah menjadi sejarah dunia bahwa, Nabi Muhammad SAW merupakan seorang saudagar yang sangat kaya. Bahkan banyak ajaran islam yang beliau sampaikan melalui mu’amalah yang satu ini (jual-beli).
Hukum jual-beli pada dasarnya ialah halal atau boleh (al-ibaahatu), artinya setiap orang dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual-beli. Hukum jual-beli dapat menjadi wajib apabila jual-beli dipandang sebagai satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam mempertahankan hidup. Allah SWT berfirman dalam (QS. an-Nisa’: 29) sebagai berikut:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمً
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil. Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu”.
Walaupun dalam hukum Islam jual beli merupakan hal yang boleh, Islam tetap memberikan batasan dan aturan jenis benda apa saja yang dapat dijadikan barang jualan (produksi) dan menetapkan aturan bagaimana tata-cara ber-muama’ah jual-beli, dan bagaimana pengambilan laba yang dibolehkan sehingga terjauh dari riba. Hal itu dilakukan sebagai implementasi dan wujud dari adagium “Agama yang rahmatan lil’alamin”. Kegiatan transaksi jual beli juga merupakan bentuk mu’amalah yang bisa dipandang rawan kecurangan, karena berbagai kecurangan bisa terjadi dalam muamalah yang satu ini.
Maka sebagai implementasi dan wujud dari adagium “Agama yang rahmatan lil’alamin”, islam memberikan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan sebagai langkah prepentif dari berbagai/kemungkinan kecurangan. Yangmana hal itu tertuang dalam rukun dan syarat dalam jual beli. Secara garis besar rukun dan syarat yang harus dipenuhi, adalah sebagai berikut: Pertama, Penjual, Kedua. Pembeli, Ketiga. Ijab dan qabul, Kempat. Benda atau barang yang diperjual belikan. Rukun dan syarat tersebut menjadi sebuah tolak-ukur sah atau tidaknya transaksi jual-beli.
Akan tetapi sesuai dengan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang sangat pesat. Dimana Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan rasa, karsa, dan daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat saat dewasa ini adalah jual-beli melalui vending machine yaitu suatu alat mesin yang berfungsi untuk melakukan transaksi jual beli tanpa disertai penjaga. Adapun cara kerja atau penggunaan vending machine sangatlah mudah yaitu kita tinggal memasukan uang koin atau kertas (ada juga yang menggunakan kupon), lalu kita tekan tombol sesuai dengan barang yang kita inginkan, maka barang yang kita pilih akan dengan sendiri keluar. Diciptakannya vending machine bertujuan untuk memudahkan konsumen membeli minuman atau makanan ringan. Dengan begitu proses jual-beli dapat lebih mudah, efisiensi, praktis dan tidak menghabiskan waktu yang banyak merupakan pertimbangan utama manusia dalam melakukan aktivitas.
Apabila dilihat dari cara kerja dan kegunaan vending machine dalam melakukan transaksi jual-beli, maka kita akan melihat beberapa perbedaan yang sangat substansial, dengan jual-beli yang telah disyariatkan atau diatur dalam hukum Islam “fiqh konvensional. Dimana dalam jual-beli yang menggunakan vending machine, disana kita tidak mendapatkan Pertama. Tidak ada penjual Kedua. tidak ada suatu Shighah (ijab dan Kabul) antar penjual dan pembeli. Yangmana dalam hukum islah (fiqh) kedua unsur tersebut sanagt menentukan sah atau tidaknya transaksi jual beli. Maka perlu kiranya kita menganalisia penggunaan vending machine dalam transaksi jual beli. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pandangan hukum islam (fiqh) terhadap transaksi yang menggunakan vending machine? Apakah hal tersebut dibolehkan/dipandang sah dalam hukum Islam atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan diatas penulis akan membatasi lingkup bahasan yang mana hanya menggunakan pandangan dua ulama Imam Madzhab Besar yaitu Imam Syafii dan Imam Malik. Imam Malik berpendapat bahwa transaksi jual beli yang menggunakan vending machine dihukumi sah. Seperti Sah-nya jual-beli mu’atat yaitu jual-beli yang telah disepakati oleh pihak yang berakad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab dan qabul, seperti yang terjadi di Mall, Swalayan dan supermarket, dan via internet “online” dll. sikap mengambil barang dan membayar harga barang oleh pembeli, menurut Imam Malik telah menunjukan ijab dan qabu>l dan mengandung unsur kerelaan.
Selain merujuk pada al-Qur’an dan hadis Imam Malik juga merujuk pada al-‘adah dan istihsan. Bahwa praktik transaksi jual-beli yang dipraktikkan oleh masyarakat di suatu daerah juga menjadi bahan pertimbangan bagi Imam Malik dalam membuat sebuah produk hukum. Karena selain berpijak pada al-‘adah, Imam Malik juga berpijak pada istihsan. Bila kebiasaan al-‘adah suatu masyarakat tentang transaksi jual-beli dinilai lebih mempermudah, baik dan lebih mengandung maslahah} maka hal tersebut dipandang sah, jadi bila sebuah model transaksi dianggap baik, memberikan kemudahan dan maslahah bagi sebuah masyarakat, maka bagi Allah pun itu sudah baik dan boleh.
Imam Malik berpendapat bahwa kerelaan seseorang bukan hanya bisa diketahui dari ucapan semata “verbal”. Akan tetapi, adanya keinginan untuk melakukan transaksi pun juga merupakan indikator sebuah kerelaan. walaupun orang yang melakukan transaksi jual-beli tidak menyatakan kalau dia rela, secara tidak langsung sudah menyatakan kerelaannya/keridhaan dan dengan perbuatan itu sebenarnya akad sudah terjadi. Imam Malik karena metode ijtihadnya adalah al-‘adah, dan istihsan, maka Imam Malik memandang bahwa jual-beli yang menggunakan vending machine dihukumi sah, karena jual;beli tidak harus ada ijab dan qabul (tidak menjadi syarat mutlak), apabila hal itu sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Berbeda halnya dengan imam malik, Imam Syafi’I berpendapat berpendapat bahwa transaksi jual-beli yang menggunakan vending machine hukumnya tidak sah, karena imam Syafi’I sendiri menolak ba’I al-muathat, karena asumsi beliau suatu transaksi jual-beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas, karena ijab dan qabul dalam transaksi itu mengandung unsur kerelaan untuk kedua belah pihak. beliau berpendapat bahwa ijab dan qabul harus di ucapkan secara verbal mengingat suka sama suka bersifat abstrak. Tidak dapat dilihat.
Penghalalan Allah terhadap jual-beli mengandung makna bahwa Allah menghalalkan jual-beli yang dilakukan oleh dua orang pada barang yang diperbolehkan untuk diperjual-belikan atas dasar suka sama suka. Adapun dalil yang menerangkan ijab dan qabul harus diucapkan adalah sebagai berikut:
وَالْمَشْهُورُ:أنَّهُ لَابُدَّ مِنَ الإِ يجَابِ والقَبُولِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدٌ مُعَاوَضَتِ ؛ فَافْتَقَرَ إِلَى الْإِيْجَابِ وَالْقَبُولِ؛ كَالنِّكَاحِ.
”Adapun pendapat yang lebih unggul: bahwasannya dalam jual-beli itu diharuskan adanya ijab dan qabul, karena hal tersebut merupakan akad muawadah, maka membutuhkan akan ijab dan qabul, seperti akad nikah.
Dalil ini mengindikasikan adanya jual-beli diharuskan ijab dan qabul karena itu merupakan transaksi jual-beli antara si penjual dengan si pembeli. Imam Shafi’I tidak memakai al-‘adah dan istihsan seperti halnya Imam Malik dalam membuat sebuah produk hukum, khususnya dalam praktik jual-beli. Imam Shafi’i berpegang teguh kepada praktik jual-beli yang sudah dijelaskan dalam nass. Bagi Imam Shafi’i, sebuah jual-beli harus didasari pada sifat saling rela. Bila jual beli itu tidak didasari saling rela, maka jual-beli itu tidak sah. Sedangkan kerelaan itu sendiri merupakan sesuatu yang samar. Sesuatu yang tidak bisa dideteksi. Dengan demikian, hanya ucapanlah yang mampu menjadi indikator dari kerelaan tersebut.
Dan perlu kiranya diketahui bahwa dalam metode ijtihadnya Imam Syafi’I, menolak istihsan secara keras (sebagai bentuk Kehati-hatian), sehingga imam syafii mengeluarkan statemen manistahsana faqad syara’a ”barang siapa yang sudah beristihsan “mengaggap sesuatu itu baik” maka ia telah bersyariat. Dan hal ini tentunya bertolak belakang dengan metode ijtihadnya imam Maliki yang menerima dan menggunakan istihsan dalam ijtihadnya.
Langganan:
Komentar (Atom)