IMAM ABU HANIFAH DAN METODE ISTINBATHNYA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“STUDI HUKUM ISLAM”
Disusun oleh:
Dosen Pembimbing:
Abdul Basit Junaidi, M.Ag.
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di era modernisasi ini banyak bermunculan permasalahan tentang kebenaran hukum-hukum Islam, hal ini di karenakan banyaknya imam yang jadi panutan kaum Muslim yang mana mereka menganggap para imam iti saling bertentangan. Padahal perbedaan antara Imam Mazdhab itu di sebabkan oleh kurun waktu yang berbeda.
Padahal pada haqiqatnya para Imam Mazdhab tersendiri dalam menetapkan suatu hukum mesti dengan cara atau metode yang sama yaitu berdasarkan, Al-Qur’an, As-Sunnah, I’jma, Qiyas, dan istihsan, namun apabila dalam suatu masalah tidak ada penyelesaian hukum di dalam keseluruhan dasar hukum tersebut, maka mereka berijtihad untuk mencari penyelesaian hal tersebut, maka dalam ijtihad inilah terjadi penetapan hukum yang berbeda, dikarenakan masing-masing Imam menggunakan merode yang berbeda.
Jadi telah jelas bahwa pengaruh pembahasan tentang perbedaan pendapat imam mazdhab dan metode istinbatnya sangat besar dalam memberikan pemahaman akan ketetapan hukum islam. Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama islam yang maha suci, khususnya dalam ilmu Fiqih mereka telah sampai keperingkat atau kedudukan yang tinggi. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu Fiqh yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi Agama Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Imam Abu Hanifah
2. Bagaimanakah langkah Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum
3. Apakah pemikiran fiqih yang khas dari Imam Abu Hanifah
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui biografi Imam Abu Hanifah
2. Untuk mengetahui langkah-langkah Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum Islam
3. Untuk mengetahui pemikiran Fiqih yang khas dari Imam Abu Hanifah
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
Abu hanifah merupakan salah satu imam terkemuka yang kita ketahui di dunia ini.Ia lahir dan meninggal lebih dahulu dari para imam yang lain, karena dialah yang kita bicarakan terlebih dahulu dari pada imam-imam yang lainnya. Beliau mempunyai nama lengkap Nu’man bin tsabit bin Zuhdi, dilahirkan di kufah th.80 H/699M dan wafat th.150 H/767M dan di kota inilah beliau dibesarkan. beliau termasuk dalam golongan bangsa Persia, yang mana ayah Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra asli Persia. Pengalaman keilmuannya diawali dari studi filsafat dan dialektika. Setelah beliau menguasai bidang ini beliau mendalami ilmu fiqih dan hadist. Abu hanifah hidup di zaman pemerintahan kerajaan Umayyah dan Abbasiyah. Ia lahir di sebuah desa di wilayah pemerintahan Abdullah bin Marwan dan beliau meninggal dunia pada masa Abu Ja’far Al-Mansur.
Sebenarnya Abu Hanifah sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. dalam memperdalam pengetahuannya tentang Al-Qur’an beliau berguru kepada imam Asin, dan beliau belajar ilmu tajwid dari idris bin ‘Asir, sedangkan dalam memperdalam pengetahuannya tentang ilmu fiqih yaitu pada kalangan sahabat rasul yang diantaranya adalah, Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa, Abu Tufail bin Amir, dan sahabat-sahabat yang lainnya, dan dari sahabat-sahabat itulah beliau mendalami ilmu Hadist. Selain kepada mereka beliau juga pernah belajar fiqih kepada ulama’ yang paling terpandang yakni Humad bin Abu sulaiman selama kurang lebih 18 th. Setelah guru-gurunya wafat Abu Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majelis ta’lim ilmu yang berada di kufah.
Imam Abu Hanifah seorang yang berjiwa besar dalam artian seorang yang berhasil dalam hidupnya, beliau seorang yang bijak dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam memberikan suatu keputusan bagi suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi. Karena kecerdasan intelektualnya tinggi, pemahaman keilmuannya mendalam, wara’ dan taqwa, pemikiran-pemikiran fiqihnya menembus pemahaman ulama’ pada zamannya, beliau mendapat gelar Al-imam Al-A’dham(imam besar). Pemikirannya menjadi bahan kajian baik bagi pendukung maupun penolaknya. Suatu kisah yang dapat member gambaran cukup jelas tentang masalah ini, diriwayatkan oleh Imam Auza’i, “Apakah engkau tahu yang menyebarkan bid’ah di kufah dan mendapat julukan Abu Hanifah?”, Tanya Imam Auza’i kepada kawannya, Abdullah bin Mubarak. Ibnu Mubarak yang memang kurang setuju dengan pendapat-pendapat Abu Hanifah menganggapnya telah “menyeleweng” dari ajaran islam. Suatu ketika Abu Hanifah dating ke Makkah dan bertemu Imam Auza’i. Disitu terjadi dialog dan diskusi yang cukup menarik antara keduanya. Ketika bertemu dengan Ibnu Mubarak, Auza’i berkata “saya telah merendahkan orang yang banyak ilmunya dan cerdas otaknya, kini saya tau bahwa apa yang saya dengar sama sekali tidak benar, Abu Hanifah merupakan ulama dan imam besar”. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian dari orang-orang pada saat itu kurang setuju dengan pendapat Abu Hanifah yang mungkin di sebabkan karena belum pahamnya pemikiran mereka terhadap substansi atas gagasan mereka.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Di antara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Imam yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki’ bin Jarah Ibnu Hasan Al-Syaibani, dan lain-lain. Sedangkan di antara kitab-kitab Abu Hanifah adalah: Al-Musuwan (kitab hadist, dikumpulkan oleh muridnya), Al-makharij (buku ini di nisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, di riwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqih Akbar (kitab fiqih yang lengkap). Di antara muridnya yang lain ialah: Al-khazail, dia tidak banyak mengarang buku, tetapi banyak memberikan pelajaran dengan mengajar cara lisan saja, begitu juga Al-hasan bin Ziad Al-lu’lu, dia juga termasuk di antara murid-muridnya yang menjadi kadli kota kufah, kitab karangan beliau antara lain Al-qodhi, Al-Khisal, Ma’ani Al-Iman, An-nafaqot, Al-Kharaj, Al-Faraidh, Al-Wasaya, dan Al-amani.
Di antara murid-murid Abu Hanifah yang paling terkenal adalah Abu Yusuf Ya’qub Al-anshari yang di angkat menjadi kadli semasa kholifah Al-Mahdi dan Al-Hadi. Dan juga Al-Rosyid pada masa pemerintahan Abbasiyah, walau Abu Hanifah tidak banyak mengarang kitab untuk mazhabnya namun mazhabnya tetap terkenal di sebabkan murid-muridnya atau anak didiknya banyak yang menulis kitab-kitab untuk mazhabnya.
Adapun kitab yang paling terkenal :
1) Kitab Fikh al Akbar
2) Kitab Al- ‘Alim wa al mu’alim
3) Kitab Al-Musnad fi fiqh Al-Akbar.
B. METODE IMAM ABU HANIFAH DALAM MENETAPKAN HUKUN ISLAM
Fiqih Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri dalam kencah perfiqihan. Imam Asy-yafi’i berkata, “ semua orang dalam hal fiqih bergantung kepada Imam Abu Hanifah”. Imam Malik setelah berdiskusi dengan Imam Abu Hanifah berkata, “ Sungguh ia seorang ahli fiqih.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau pernah berkata, “ saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullahdan njika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain, jika sudah sampai kepada pendapat ibrahim, Asy-sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’ad Al-Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbat hukum adalah sebagai berikut:
1) AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan sumber utama Syariat dan kepadanya di kembalikan semua hukum dan tidak ada satu sumber hukum suatu pun, kecuali di kembalikan kepadanya.
Dan tidak ada perbedaan antara imam dalam memandang dan memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, Al-Qur’an memperoleh kedudukan tinggi dalam mengatasi semua sumber hukum untuk semua keadaan.
2) SUNNAH
Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat da’wah Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. yang mana sunnah ini menempati posisi kedua diantara prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam proses pengambilan hukum, dengan persyaratan bahwa sunnah atau hadis yang digunakan harus Marfu.
3) IJMA
Ijma ( Pendapat Sahabat ) merupakan hukum islam terpenting yang ketiga yaitu pendapat para sahabat mengenai beberapa materi hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dalam hal ini Ijma para Sahabat lebih di utamakan dari pada pendapat pribadi Abu Hanifah dan Murid-muridnya. Karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah sehingga lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap Ayat dan Hadis, dan merekalah yang membawa Ilmu Rasulullah kepada Umatnya.
4) QIYAS
Beliau menggunakan Qias ketika tidak ada Nash Al-Qur’an atau Sunnah, atau ijma Sahabat, beliau menggali Illat dan jika menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan Illat yang ditemukan. Karena Imam Abu Hanifah tidak harus menerima rumusan hukum dari murid-muridnya yang tidak memiliki bukti yang jelas dari sumber-sumbernya.
5) ISTIHSAN
Istihsan ( Preferensi ) secara sederhana adalah suatu bukti yang lebih disukai dari pada bukti yang lainnya, karena ini lebih disukai dengan situasinya walaupun bukti yang digunaka ini bisa jadi secara teknis lebih lemah dari pada bukti lain yang digunakan. yaitu menunggalkan qiyas Dhahir dan mengambil hukum yang lain,m karena qiyas zhahirterkadang tidak dapat diterapkan dalam suatu masalah, oleh karena itu perlu mencari Illat lain dengan cara qiyas khafi
6) AL-URF
Al-Urf ( Adat Istiadat ) yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada Nash, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, atau perbuatan Sahabat, dan berupa adat yang baik serta tidak bertentangan dengan Nash sehingga dapat dijadikan Hujjah
Madzhab Imam Hanafi tersebar dibanyak Negri, bahkan menjadi mazdhab resmi di Irak terutama sekitas Sungai Eufrat. Mazdhab Imam Hanafi mulai tertsebar di Kufah kemudian ke Bagdad, Mesir, Syam, Persia Romawi, Yaman, India, Cina, Bukharo, Kaukakus, Afghanistan, Turkistan. Madzhab Abu Hanifah ermunculan sejak masa kejayaan islam Bani Abasiyyah pada awal abad ke-2 tepatnya pada tahun 150 H.
Dalam istimbatnya, imam Abu Hanifah tetep mempergunakan qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan qiyas, maka beliau berpegang kepada istihsan selama dapat dilakukan, jika tidak bisa, baru beliau berpegang kepada adat dan ‘Urf.
C. PEMIKIRAN YANG KHAS ABU HANIFAH DALAM HUKUM ISLAM
Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasuluulah SAW, yang tidak banyak mengetahui seluk beluk As-Sunnah, membuat pembendaharaan Al-Hadis berkurang. Disamping itu Kota Kufah yang letaknya ditengah kebudayaan persi dengan kondisi sosial kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, Sahabat dan Tabi’in, sehingga untuk menghadapinya diperlukan Ijtihad atau Al-ra’yu. Faktor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Kufah dengan di Madinah.
Imam Abu Hanifah salah satu dari Imam besar yang hidup pada masa Daulah Bani Abasiyah. Pendapat beliau berbeda dengan Imam Madzhab yang lainnya. Dikarenakan pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, yaitu Kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia. Karena itulah madzhab ini lebihbanyak menggunakan pemikiran rasional.
Dan Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima Hadis, dalam menyelesaikan berbagai macam bentuk persoalan yang muncul beliau mempergunakan Al-ra’yu sebagai dasar penetapan hukum. Adapun dalam bidang Al-Hadist beliau sedikit sekali, artinya hanya sebagian saja yang beliau terima.
Shugni Mahmashani berpendapat bahwa pengetahuan Imam Abu Hanifah yang mendalam dalam bidang Hukum ditambah dengan profesinya sebagai saudagar, memberikan peluang yang sangat luas baginya untuk memperlihatkan berbagai macam ketentuan hukum secara praktis, sehingga menyebabkan keahlian yang dimilikinya, memperluas dirinya dalam menguasai beberapa pandangan dalam logika dalam penerapan hukum Syari’ah melalui Qiyas dan Istihsan.
kemudian dari pandangan beliau. beliau dikenal dengan sebutan Al-Ra’yu, hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut :
1. Abu hanifah hanya hanya menerima Al-Qur’an dan menolak sebagian Al-hadist yang keshohihannya di ragukan, sekalipun Ulama lainnya sudah melakukan Ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi.
2. Abu Hanifah hanya bertuju pada Al-Qur’an semata dengan melalui Al-Qiyas dalam upaya agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat di sesuaikan pada berbagai macam situasi dan kondisi.
Abu Hanifah belajar fiqih kepada Ulama ang mengikuti aliran irak dan menggunakan ra’yu. Beliau dianggap representative untuk mewakili pemikiran aliran ra’yu, sehingga ia termasuk seorang generasi pengembang ahli Ra’yu. dalam berijtihad abu hanifah menggunakan metode ra’yu untuk memecahkan masalah hukum islam akan tetapi masih berlandaskan Al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan Istihsan.
Adapun pemikiran Abu Hanifah yang menonjol ( Khas ) dalam menetapkan hukum dari Imam yang lain adalah.
1. Sangat rasional, mementingkan maslahat dan manfaat
2. Lebih mudah dipahami dari pada madzhab lainna
3. Lebih liberal sikapnya terhadap warga negara yang non Muslim.
Hal ini dipahami karena cara beristimbat abu hanifah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang Nashang tersurat yaitu ‘illat-‘illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nashnya beliau menggunakan Qiyas, Istihsan, ‘Urf.
Beliau merupakan ulama yang besar dan memiliki kecerdasan,berjiwa ikhlas dan juga tegas dalam kesehariannya, mempunyai kepribadian yang gampang bergaul dan juga punya daya tarik tersendiri sehingga tidak mengherankan lagi pada saat beliau meninggal ribuan orang menyatakan Tazkiyyah. Akan tetapi meski beliau termasuk ulama besar dan talah dan sersohor beliau tidak lantas sombong dan merasa mendominasi kebenaran. Dan masih banyak lagi riwayat yang menerangkan tentang ke’aliman dan kezuhudannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Nama lengkap Abu Hanifah adalah Nu’man bin tsabit bin Zuhdi, dilahirkan di kufah th.80 H/699M dan wafat th.150 H/767M dan di kota inilah beliau dibesarkan. beliau termasuk dalam golongan bangsa Persia, yang mana ayah Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra asli Persia.
2. Abu Hanifah dalam menentukan hukum menggunakan dasar islam yang di mulai dari Al-Qur’an apa bila tidak ada didalamnya maka diambil sunnah Nabi SAWdan apabila tidak diketemukan pemecahan hukumnya juga maka kemudian baru menggunakan Ijma, Qiyas, dan Istihsan sampai akhirnya beliau harus berijtihad seperti ulama sebelumnya. Karena tidak ada pemecahan hukumnya didalam dasar agama tersebut.
3. Pemikiran Fikih Abu Hanifah adalah Ra’yu atau pemikiran yang rasional dalam menentukan suatu masalah hukum islam. Karena beliau belajar dari Guru fiqihnya yang juga menggunakan aliran Ra’yu sehingga beliau dikenal dengan sebutan Ahlur-ra’yu. Adapun pemikirannya yang khas adalah berfikir rasional, mementingkan maslahat dan manfaat. Sehingga mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat muslim, pemikiran yang khas ini hanya terjadi pada masalah-masalah furu’ bukan masalah-masalah pokok syariat Islam. Karena hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
B. KRITIK DAN SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mampu mengamalkan ajaran para imam Madzhab yang dianutnya, dan selalu berpegang teguh terhadap Al-Qur’an Dan sunnah, selain itu diharapkan supaya bisa memehami bahwa ajaran para Imam itu tidaklah saling bertentangan hanya saja ada perbedaan dalam masalah Furu’ atau syariat islam. Demikianlah penulis makalah ini, namun kami menyadari masih banyak terdapak kekurangan baik dalam hal penyusunan kalimat ataupun dalam materi pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Naim Ngainun, Sejarah Pemikiran Hukum Islam , Yogyakarta: TERAS, juni 2009.
Asy-Syurbasi Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab (Jakarta: AMZAH, cetakan kelima Mei 2008.
Mughniyah Muhammad Jawad, FIQIH LIMA MAZHAB (Jakarta: LENTERA, cetakan ke 18, desember 2006.
Tarikh Tasyri, sejarah legislasi hukum islam. Dr, Rasyad hasan khalil: Amzah.
Dhalil Rasyad Hasan, Amzah Tarikh Tasyri sejarah legislasi hukum islam.
Mahfud Sahal, kilas balik teoritis fikih islam ( Pp. Lirboyo, kediri, 2004).
Nur Saifuddin, ilmu fiqih suatu pengantar komprehensif kepada hukum islam (tafakur, 2006)